Pangururan, indonesiaclik.com ||
Suku Batak dikenal luas dengan kekayaan adat dan budayanya, salah satunya adalah pelestarian silsilah atau tarombo setiap marga. Meski terkadang versi yang beredar berbeda-beda, setiap marga memiliki tarombo-nya sendiri yang dijaga secara turun-temurun.
Menurut cerita yang beredar, bahwa Raja Batak memiliki dua orang putra, yaitu Guru Tatea Bulan dan Raja Isombaon. Guru Tatea Bulan memiliki lima orang putra yang lahir kembar dengan lima orang putri, yaitu: Raja Uti, Sariburaja, Limbong Mulana, Sagala Raja, dan Silau Raja.
Adapun Raja Isombaon, putra kedua Raja Batak, memiliki seorang anak bernama Tuan Sorimangaraja. Dari Tuan Sorimangaraja lahir tiga orang putra: Sorbadijulu (Naiambaton), Sorbadijae (Naisuanon), dan Sorbadibanua (Nairasaon).
Naiambaton (Sorbadijulu), sebagai putra sulung, menikah dengan istri pertamanya dan dikaruniai dua anak: seorang putra bernama Raja Sitempang dan seorang putri bernama Pungga Haumasan. Namun, karena Raja Sitempang lahir dalam kondisi cacat pada bagian kakinya, ia diasingkan ke tempat tersembunyi demi menjaga nama baik keluarga. Dari kondisi itulah ia kemudian disebut Raja Sitempang.
Seiring berjalannya waktu, istri pertama Naiambaton belum juga melahirkan anak lagi. Maka Naiambaton pun menikah untuk kedua kalinya dan dikaruniai seorang putra bernama Tambatua.
Tak lama kemudian, istri pertamanya akhirnya melahirkan lagi, yaitu seorang putra bernama Bolontua dan seorang putri bernama Pinta Haumasan. Dari istri kedua pun lahir anak-anak lainnya: Saragitua, Muntetua, dan Nahampuntua.
Dalam sistem adat Batak, anak dari istri pertama tetap dianggap sebagai pewaris utama, atau disebut sijujung goar dohot harajaon. Maka ketika Tambatua dan Bolontua tumbuh dewasa, tibalah saat Naiambaton hendak mewariskan tahtanya. Namun, karena putra sulung dari istri kedua adalah Tambatua, keputusan tidak mudah diambil.
Akhirnya, Naiambaton memutuskan untuk mengadakan pertarungan kesaktian antara Tambatua dan Bolontua. “Barang siapa menang, dialah pewaris tahtanya”. Pertarungan tersebut dimenangkan oleh Raja Bolontua, sehingga ia ditetapkan sebagai pewaris tahta kerajaan.
Dengan lapang dada, Tambatua menerima kekalahan dan mengakui Bolontua sebagai pewaris sah. Ia kemudian pergi meninggalkan tanah Sumba bersama tiga adiknya: Saragitua, Muntetua, dan Nahampuntua. Bahkan Pinta Haumasan, serta anak perempuan mereka, turut serta karena tidak tega berpisah dari saudara-saudaranya.
Beberapa waktu setelah Raja Bolontua naik tahta, terjadi sebuah peristiwa luar biasa: Raja Sitempang sembuh dari cacatnya dan bahkan memiliki kesaktian. Ia pun kembali ke kampung halaman dan menemui ayahnya, Naiambaton, yang sangat terkejut karena mengira anaknya itu telah tiada.
Namun, kembalinya Raja Sitempang memunculkan konflik baru. Raja Bolontua tidak menerima keberadaan Raja Sitempang sebagai anak sulung karena merasa tidak pernah diberi tahu oleh Naiambaton sejak kecil.
Melihat perseteruan itu, Naiambaton pun mengambil langkah bijak sebagai ayah dan raja. Ia menetapkan bahwa kedua anaknya, Raja Sitempang dan Raja Bolontua, memiliki hak yang sama atas nama besar dan tahtanya. Dengan sabda penuh kearifan, ia berkata:
“Dihamu anakhu nadua, rap siakkangan ma hamu jala rap sianggian, jala maripar-ipar harajaon.” (“Kepada kedua anakku, milikilah hak yang sama dalam memegang tahta dan nama besarku, serta hiduplah sebagai ipar dalam kekuasaan.”)
Sejak itu, Raja Sitempang dan Raja Bolontua hidup berdampingan dan rukun, dengan kedudukan sederajat sebagai ipar harajaon. Tradisi ini terus diwariskan secara turun-temurun kepada para keturunan mereka.
Dalam kehidupan sosial, apabila keturunan Raja Sitempang mengunjungi rumah keturunan Raja Bolontua, maka yang disebut “abang” adalah pihak yang dikunjungi. Sebaliknya, jika keturunan Raja Bolontua datang ke rumah keturunan Raja Sitempang, maka keturunan Raja Sitempang yang dipanggil “abang”. Dalam kehidupan sehari-hari, sebutan abang dan adik digunakan sesuai usia.
Hubungan kekerabatan antara keturunan keduanya juga diperkuat pada generasi selanjutnya. Keturunan Raja Bolontua (marga Simbolon) dan keturunan Raja Sitempang (marga Sitanggang) menikahi dua putri Raja Naibaho, yaitu Marsinta Dongan dan Marhite Ombun. Yang termuda menikahi putri sulung, dan yang tertua menikahi putri bungsu. Karena itu, mereka disebut sebagai Ipar-ipar Tubu.
Hingga kini, pada setiap acara adat marga Naibaho di Pangururan, Sitanggang dan Simbolon selalu menerima jambar bersamaan, marga Naibaho dengan menyilang tangan saat memberinya sebagai simbol persatuan: “On ma jambar tu Simbolon – Sitanggang atau Sitanggang – Simbolon”.
Kisah ini adalah turi-turian tentang asal-usul dan hubungan Raja Sitempang dan Raja Bolontua serta keturunannya. Sejarah menunjukkan bahwa Harajaon Sitanggang dan Simbolon hidup berdampingan dengan damai, terutama di Tanah Sumba (Pangururan). Sekian.
Catatan:
Tulisan ini dibuat dengan tulus, tanpa maksud mengaburkan tarombo Parna. Semua ditulis berdasarkan petuah orang tua dan beberapa tokoh marga Sitanggang di Pangururan yang saya yakini. Bila terdapat kekeliruan atau ada pihak yang merasa dirugikan, saya memohon maaf dan bersedia meralatnya.
Di atas semua itu, marilah kita menjunjung tinggi pesan leluhur kita Raja Naiambaton: “Sisada anak – Sisada boru, Sisada lulu harajaon”, dan menjaga sumpah suci leluhur: “Tung naso jadi marsiolian.” Parna tetap satu. Horas!
Penulis: Jepri Sitanggang
Turi-turian Raja Sitempang dan Raja Bolontua

